A. Sejarah Gerakan
Perang Solferino
Pada tanggal 24 Juni
1859 di Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi
Lambordi, sebelah utara Italia, berlangsung pertempuran sengit antara prajurit
Perancis dan Austria. Pertempuran yang berlangsung sekitar 16 jam dan melibatkan
320.000 orang prajurit itu, menelan puluhan ribu korban tewas dan luka-luka.
Sekitar 40 ribu orang meninggal dalam pertempuran.
Banyaknya prajurit yang
menjadi korban, dimana pertempuran berlangsung antar kelompok yang saling
berhadapan, memang merupakan karakteristik perang yang berlangsung pada jaman
itu. Tak ubahnya seperti pembantaian massal yang menghabisi ribuan orang pada
satu waktu. Terlebih lagi, komandan militer tidak memperhatikan kepentingan
orang yang terluka untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan. Mereka hanya
dianggap sebagai ‘makanan meriam’. Ribuan mayat tumpang tindih dengan mereka
yang terluka tanpa pertolongan. Jumlah ahli bedah pun sangat tidak mencukupi.
Saat itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta
seorang dokter untuk seribu orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya
dimenangkan oleh Perancis.
Akibat perang dengan
pemandangannya yang sangat mengerikan itu, menggugah Henry Dunant, seorang pengusaha berkebangsaan Swiss (1828 – 1910)
yang kebetulan lewat dalam perjalanannya untuk menemui Kaisar Napoleon III guna
keperluan bisnis. Namun menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan akibat
pertempuran, membuat kesedihannya muncul
dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang
dari desa-desa sekitarnya dan tinggal di sana selama tiga hari untuk
sungguh-sungguh menghabiskan waktunya guna merawat orang yang terluka.
Ribuan orang yang
terluka tanpa perawatan dan dibiarkan mati di tempat karena pelayanan medis
yang tidak mencukupi jumlahnya dan tidak memadai dalam tugas/keterampilan,
membuatnya sangat tergugah. Kata-kata bijaknya yang diungkapkan saat itu, Siamo
tutti fratelli (Kita semua saudara), membuka hati para sukarelawan
untuk melayani kawan maupun lawan tanpa membedakannya.
Komite Internasional
Sekembalinya Dunant ke
Swiss, membuatnya terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di
Solferino. Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk
menarik perhatian dunia akan kenyataan kejamnya perang, ditulisnya sebuah buku
dan diterbitkannya dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu
diberi judul “Kenangan dari Solferino”
(Un Souvenir De Solferino).
Buku itu mengandung dua
gagasan penting yaitu:
> Perlunya
mendirikan perhimpunan bantuan di
setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang yang terluka
pada waktu perang.
> Perlunya kesepakatan internasional guna melindungi prajurit yang terluka
dalam medan perang dan orang-orang yang merawatnya serta memberikan status
netral kepada mereka.
Selanjutnya Dunant
mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para
pemimpin militer, politikus, dermawan dan teman-temannya. Usaha itu segera
membuahkan hasil yang tidak terduga. Dunant diundang kemana-mana dan dipuji
dimana-mana. Banyak orang yang tertarik dengan ide Henry Dunant, termasuk
Gustave Moynier, seorang pengacara dan juga ketua dari The Geneva Public
Welfare Society (GPWS). Moynier pun mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan
idenya dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863 di Jenewa.
ternyata, 160 dari 180 orang anggota GPWS mendukung ide Dunant. Pada saat itu
juga ditunjuklah empat orang anggota GPWS dan
dibentuklah KOMITE LIMA
untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant. Mereka adalah :
1.
Gustave Moynier
2.
dr. Louis Appia
3.
dr. Theodore Maunoir
4.
Jenderal Guillame-Hendri Dufour
Adapun Henry Dunant,
walaupun bukan anggota GPWS, namun dalam komite tersebut ditunjuk menjadi
sekretaris. Pada tanggal 17 Februari 1863, Komite Lima berganti nama menjadi Komite Tetap Internasional untuk
Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu
Jenderal Guillame – Henri Dufour.
Pada bulan Oktober
1863, Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit
yang Terluka, atas bantuan Pemerintah Swiss, berhasil melangsungkan
Konferensi Internasional pertama di
Jenewa yang dihadiri perwakilan dari 16 negara (Austria, Baden, Beierem,
Belanda, Heseen-Darmstadt, Inggris, Italia, Norwegia, Prusia, Perancis,
Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover dan Hutenberg). Beberapa Negara
tersebut saat ini sudah menjadi Negara bagian dari Jerman.
Adapun hasil dari
konferensi tersebut, adalah disepakatinya satu konvensi yang terdiri dari
sepuluh pasal, beberapa diantaranya merupakan pasal krusial yaitu digantinya
nama Komite Tetap Internasional untuk Menolong Prajurit yang Terluka menjadi KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH atau ICRC (International Committeee of the Red Cross) dan ditetapkannya tanda khusus bagi sukarelawan yang
memberi pertolongan prajurit yang luka di medan pertempuran yaitu Palang Merah diatas dasar putih.
Pada akhir konferensi
internasional 1863, gagasan pertama Dunant – untuk membentuk perhimpunan para
sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan. Beberapa perhimpunan serupa
dibentuk beberapa bulan kemudian setelah berlangsungnya konferensi
internasional di Wurttemburg, Grand Duchy of Oldenburg, Belgia dan Prusia.
Perhimpunan lain pun segera berdiri seperti di Denmark, Perancis, Italy,
Mecklenburgh-schwerin, Spain, Hamburg dan Hesse. Pada waktu itu mereka disebut
sebagai Komite Nasional atau Perhimpunan Pertolongan.
Selanjutnya, dengan
dukungan pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang
dilaksanakan di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan
empat institusi donor mengirimkan wakilnya. Sebagai bahan diskusi, sebuah
rancangan konvensi disiapkan oleh Komite Internasional. Rancangan tersebut
dinamakan “Konvensi Jenewa untuk memperbaiki kondisi tentara yang terluka di
medan perang” dan disetujui pada tanggal 22 Agustus 1864. Lahirlah HPI modern.
Konvensi itu mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi
prajurit yang terluka pada saat peperangan dan membuat negara-negara memberikan
status netral pada prajurit yang terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu
personil kesehatan.
B. Komponen Gerakan
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Pada akhir perang dunia
pertama sebagian besar daerah di Eropa sangat kacau, ekonomi rusak, populasi
berkurang drastis karena epidemi. Sejumlah besar pengungsi yang miskin dan
orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan memenuhi benua itu. Perang tersebut
sangat jelas menunjukkan perlunya kerjasama yang kuat antara perhimpunan Palang
Merah yang karena aktivitasnya dalam masa perang dapat menarik ribuan
sukarelawan. Henry P. Davison,
Presiden Komite Perang Palang Merah Amerika, mengusulkan pada konferensi
internasional medis (April 1919, Cannes, Perancis) untuk “mem-federasikan perhimpunan
palang merah dari berbagai negara menjadi sebuah organisasi setara dengan liga
bangsa-bangsa; dalam hal peperangan dunia untuk memperbaiki kesehatan, mencegah
penyakit dan mengurangi penderitaan.”
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah[1] kemudian secara formal terbentuk dengan markas besarnya di Paris oleh
Perhimpunan Palang Merah dari Perancis, Inggris, Itali, Jepang, Amerika Serikat
pada tanggal 5 Mei 1919 dengan tujuan utama memperbaiki kesehatan pada
negara-negara yang telah sangat menderita setelah perang. Liga itu juga
bertujuan untuk ‘memperkuat dan menyatukan aktivitas kesehatan yang sudah ada
dalam Perhimpunan Palang Merah dan untuk mempromosikan pembentukan perhimpunan
baru.’ Bagian penting dari kerja Federasi adalah menyediakan dan mengkoordinasi
bantuan bagi korban bencana alam dan epidemi. Sejak 1939 markas permanennya
telah berada di Jenewa. Pada tahun 1991, keputusan diambil untuk merubah nama
Liga Perhimpunan Palang Merah menjadi Federasi
Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau IFRC (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societis).
Selanjutnya, baik IFRC,
ICRC dan Perhimpunan Nasional, merupakan bagian dari komponen Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah atau biasa disebut dengan ”Gerakan” saja. Komponen
Gerakan dalam menjalankan tugasnya sesuai Prinsip Dasar dan mandat
masing-masing sebagaimana yang disebut dalam Statuta Gerakan.
Komite Internasional Palang Merah/International Committeee of the Red Cross
(ICRC)
Sebagai sebuah lembaga swasta dan mandiri,
ICRC bertindak sebagai penengah yang netral antara dua negara yang berperang
atau bermusuhan dalam konflik bersenjata Internasional, konflik bersenjata
non-Internasional dan pada kasus-kasus kekerasan internasional. Selain itu,
juga berusaha untuk menjamin bahwa korban kekerasan di atas, baik penduduk
sipil maupun militer, menerima perlindungan dan pertolongan.
Pada kasus-kasus konflik bersenjata
Internasional maupun non-Internasional, aksi kemanusiaan ICRC didasarkan pada
Konvensi dan protokol-protokolnya. Ini alasan mengapa kita mengatakan bahwa
sebuah mandat khusus telah dipercayakan kepada ICRC oleh komunitas
negara-negara peserta konvensi tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan internal,
ICRC bertindak berdasar pada hak inisiatif kemanusiaan seperti tercantum dalam
Statuta Gerakan.
ICRC adalah pelindung Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan
pengambil keputusan atas pengakuan perhimpunan-Perhimpunan Nasional, dimana
dengan itu mereka menjadi bagian resmi dari Gerakan. ICRC bekerja untuk
mengembangkan HPI, menjelaskan, mendiseminasikan dan mempromosikan Konvensi
Jenewa. ICRC juga melaksanakan kewajiban yang ditimpakan padanya berdasarkan
Konvensi-konvensi tersebut dan memastikan bahwa konvensi-konvensi itu
dilaksanakan dan mengembangkannya apabila perlu.
Perhimpunan Nasional/National Society
Perhimpunan Nasional
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah adalah organisasi kemanusiaan yang ada di
setiap negara anggota penandatangan Konvensi Jenewa. Tidak ada negara yang
dapat memiliki lebih dari satu Perhimpunan Nasional. Sebelum sebuah perhimpunan
baru disetujui oleh ICRC dan menjadi anggota Federasi, beberapa syarat ketat
harus dipenuhi. Menurut Statuta Gerakan, Perhimpunan Nasional yang baru
didirikan, harus disetujui oleh ICRC. Untuk dapat memperoleh persetujuan dari
ICRC, sebuah Perhimpunan Nasional harus memenuhi 10 syarat yaitu:
• Didirikan disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa
1949
• Satu-satunya Perhimpunan PM/BSM Nasional di
Negaranya
• Diakui oleh Pemerintah Negaranya
• Memakai nama dan lambang Palang Merah atau Bulan
Sabit Merah
• Bersifat mandiri
• Memperluas kegiatan di seluruh wilayah
• Terorganisir dalam menjalankan tugasnya dan
dilaksanakan diseluruh wilayah negaranya
• Menerima anggota tanpa membedakan latar belakang
• Menyetujui Statuta Gerakan
• Menghormati Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan
menjalankan tugasnya sejalan dengan prinsip-prinsip HPI
Federasi
Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah/International
Federation of The Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)
Seluruh Perhimpunan Nasional adalah anggota dari IFRC.
Badan ini mendukung aktivitas kemanusiaan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan
Nasional atas nama kelompok-kelompok rentan dan bertindak sebagai juru bicara
dan sebagai wakil Internasional mereka. Federasi mendukung Perhimpunan Nasional
dan ICRC dalam usahanya untuk mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan
tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan.
Statuta Gerakan
Statuta Gerakan adalah salah satu dasar yang menentukan
struktur dan kewajiban ICRC, Federasi, dan Perhimpunan Nasional. Statuta
Gerakan disusun pada tahun 1928. Kemudian direvisi pada tahun 1952 direvisi
lagi pada tahun 1986, tepatnya pada Konferensi Internasional yang ke-25 yang
dilaksanakan di Jenewa.
Statuta ICRC
ICRC menetapkan statutanya pada tahun 1915.
Semenjak itu mereka sudah merevisinya beberapa kali. Khususnya, mereka
berefleksi dan mengembangkan pokok-pokok pikiran dari pasal 5 Statuta Gerakan.
Untuk lebih persisnya, sebagai tambahan atas apa yang sudah disebutkan di atas,
statuta itu menyebutkan bahwa ICRC harus:
> Melindungi
dan mempromosikan penghormatan terhadap Prinsip-prinsip Dasar Gerakan, demikian
juga dengan penyebarluasan pengetahuan Hukum Perikemanusiaan Internasional
(HPI) yang dapat dipakai dalam konflik bersenjata;
> Mengakui
semua Perhimpunan Nasional yang dibentuk berdasarkan persyaratan yang tercantum
dalam Statuta Gerakan;
> Mengemban
tugas yang diberikan oleh Konvensi Jenewa dan memastikan bahwa HPI dilaksanakan
dangan setia;
> Menyediakan
perlindungan dan bantuan, dalam kapasitasnya sebagai penengah netral kepada
militer dan korban sipil dari konflik bersenjata dan mengelola, menjalankan
Badan Pusat Pencarian;
> Melaksanakan mandat yang dipercayakan
kepadanya oleh Konferensi Internasional.
Statuta Federasi
Statuta Federasi memutuskan tanggung-jawab Federasi
sebagai berikut:
> Bertindak
sebagai badan penghubung dan koordinasi permanen dari Perhimpunan-Perhimpunan
Nasional;
> Memberikan
bantuan kepada Perhimpunan Nasional yang mungkin memerlukan dan memintanya;
> Mempromosikan
pembentukan dan pengembangan Perhimpunan Nasional;
> Mengkoordinasi
operasi bantuan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Nasional dalam rangka
membantu korban bencana alam dan pengungsi di tempat di mana tidak ada konflik
bersenjata.
Statuta Perhimpunan
Nasional
Setiap Perhimpunan Nasional memiliki statuta sendiri-sendiri. Walaupun
mungkin berbeda satu dengan yang lain, statuta itu harus mencerminkan semangat
gerakan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum dalam Statuta Gerakan. Harus
diperhatikan bahwa seperangkat “model statuta” tersedia untuk digunalan oleh
Perhimpunan Nasional. Tujuan untuk pembuatan model tersebut pada tahun 1952
tidak untuk digunakan sebagai satu-satunya peraturan bagi semua Perhimpunan
Nasional tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip konvensi dan Gerakan, yang
merupakan aplikasi universal. Model statuta ini sudah diubah sampai
berkali-kali dan pantas untuk menjadi pedoman bagi Perhimpunan Nasional baru
dalam membuat rancangan statutanya sendiri.
Lambang Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional
A. Sejarah Lambang
Lambang Palang Merah
Sebelum Lambang
Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan
pertolongan kepada tentara yang terluka di medan perang, pada waktu itu setiap
pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan
warna yang berbeda-beda. Austria misalnya, menggunakan bendera putih. Perancis
menggunakan bendera merah dan Spanyol menggunakan bendera kuning. Akibatnya,
walaupun tentara tahu apa tanda pengenal dari personel medis mereka, namun
biasanya mereka tidak tahu apa tanda pengenal personel medis lawan mereka.
Pelayanan medis pun tidak dianggap sebagai pihak yang netral. Melainkan
dipandang sebagai bagian dari kesatuan tentara, sehingga tanda pengenal
tersebut bukannya memberi perlindungan namun juga dianggap sebagai target bagi
tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.
Lambat laun muncul pemikiran yang mengarah
kepada pentingnya mengadopsi Lambang yang menawarkan status netral
kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di medan perang. Kepentingan tersebut
menuntut dipilihnya hanya satu Lambang. Namun yang menjadi masalah
kemudian, adalah memutuskan bentuk Lambang yang akan digunakan oleh personel
medis sukarela di medan perang. Dalam suatu kurun waktu, ikat lengan berwarna
putih dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Namun, warna putih telah
digunakan dalam konflik bersenjata oleh pembawa bendera putih tanda gencatan
senjata, khususnya untuk menyatakan menyerah. Penggunaan warna putih pun dapat
menimbulkan kebingungan sehingga perlu dicari suatu kemungkinan Lambang
lainnya.
Delegasi dari Konferensi Internasional tahun
1863 akhirnya memilih Lambang Palang Merah di atas dasar putih, warna kebalikan
dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk
penghormatan terhadap Negara Swiss yang memfasilitasi berlangsungnya Konferensi
Internasional saat itu. Bentuk Palang Merah pun memberikan keuntungan teknis
karena dinilai memiliki desain yang sederhana sehingga mudah dikenali dan mudah
dibuat. Selanjutnya pada tahun 1863, Konferensi
Internasional bertemu di Jenewa dan sepakat mengadopsi Lambang Palang Merah di
atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan bagi tentara yang
terluka – yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada
tahun 1864, Lambang Palang Merah di atas dasar putih secara resmi diakui
sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.
Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari
Konferensi 1863 tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah
simbol kepentingan tertentu, dengan mengadopsi Palang Merah di atas dasar
putih. Namun pada tahun 1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah pekerja
kemanusiaan yang tertangkap oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) dibunuh
semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika
Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka
menekankan mengenai
kepekaan tentara kerajaan terhadap Lambang berbentuk palang dan mengajukan agar
Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk
menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Gagasan ini
perlahan-lahan mulai diterima dan memperoleh semacam pengesahan dalam bentuk
“reservasi” dan pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi
sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa
dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh Persia
(saat ini Iran). Tahun 1980, Republik Iran memutuskan untuk tidak lagi
menggunakan Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah.
Perkembangan Lambang: Kristal Merah
Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun
2006, sebuah keputusan penting lahir,
yaitu diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam
Gerakan dan memiliki status yang sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang
Kristal Merah tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan III tentang penambahan
Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang sudah disahkan sebelumnya pada
Konferensi Diplomatik tahun 2005. Usulan
membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah, diharapkan dapat menjadi jawaban,
ketika Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak bisa digunakan dan
‘masuk’ ke suatu wilayah konflik. Mau tidak mau, perlu disadari bahwa masih
banyak pihak selain Gerakan yang menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol
kepentingan tertentu.
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua
pilihan yaitu: dapat digunakan secara penuh oleh suatu Perhimpunan Nasional,
dalam arti mengganti Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang sudah digunakan
sebelumnya, atau menggunakan Lambang Kristal Merah dalam waktu tertentu saja
ketika Lambang lainnya tidak dapat diterima di suatu daerah. Artinya, baik
Perhimpunan Nasional, ICRC dan Federasi pun dapat menggunakan Lambang Kristal
Merah dalam suatu operasi kemanusiaan tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang
sepenuhnya.
B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai
bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1.
Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45
2.
Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45
3.
Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4.
Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun
1965
5.
Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional tahun 1991
Pada penggunaannya,
penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai
menyentuh pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh
ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang Bulan Sabit Merah, arah
menghadapnya (ke kanan atau ke kiri) tidak ditentukan, terserah kepada
Perhimpunan yang menggunakannya.
Selanjutnya, aturan
penggunaan Lambang bagi Perhimpunan Nasional maupun bagi lembaga yang menjalin
kerjasama dengan Perhimpunan Nasional, misalnya untuk penggalangan dana dan
kegiatan sosial lainnya tercantum dalam “Regulations on the Use of the
Emblem of the Red Cross and of the Red Crescent by National Societies”.
Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku
sejak 1992.
Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa
Lambang memiliki fungsi untuk :
> Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
> Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu
damai dan perang/konflik
Apabila
digunakan sebagai Tanda Pengenal,
Lambang tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk mengingatkan
bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan.
Pemakaian Lambang sebagai Tanda Pengenal juga menunjukan bahwa seseorang,
sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk itu, Gerakan
secara organisasi dapat mengatur secara teknis penggunaan Tanda Pengenal
misalnya dalam seragam, bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang
sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-undang nasional
mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.
Apabila Lambang
digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus menimbulkan sebuah
reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang
harus selalu ditampakkan dalam bentuknya yang asli. Dengan kata lain,
tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang
Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang
tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin, ukurannya harus besar,
yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya
perlindungan bagi:
> Personel medis dan keagamaan angkatan
bersenjata
> Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
> Unit dan
transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai perbantuan
terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata
> Peralatan medis.
Penyalahgunaan Lambang
Setiap negara peserta
Konvensi Jenewa memiliki kewajiban
membuat peraturan atau undang-undang untuk mencegah dan mengurangi
penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan
untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Dengan
demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Lambang yaitu:
> Peniruan (Imitation):
Penggunaan
tanda-tanda yang dapat disalah artikan sebagai lambang Palang Merah atau bulan
sabit merah (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk
tujuan komersial.
> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation):
Penggunaan
lambang Palang Merah atau bulan sabit merah oleh kelompok atau perseorangan
(perusahaan komersial, organisasi
non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan
lambang oleh orang yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai
dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang yang berhak
menggunakan lambang namun menggunakannya untuk dapat melewati batas negara
dengan lebih mudah pada saat tidak sedang tugas).
> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave
misuse)
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit
merah dalam masa perang untuk melindungi kombatan bersenjata atau perlengkapan militer
(misalnya ambulans atau helikopter ditandai dengan lambang untuk mengangkut
kombatan yang bersenjata; tempat penimbunan amunisi dilindungi dengan bendera
Palang Merah) dianggap sebagai kejahatan perang.
Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional
A. Sejarah Munculnya Prinsip Dasar
Definisi
Kata “prinsip” berasal dari bahasa Latin “principium”
yang berarti penyebab utama, asal atau dasar. Prinsip juga dapat berarti ‘suatu
aturan-aturan dasar yang mengekspresikan nilai-nilai dasar suatu kelompok
komunitas yang tidak berubah-ubah dalam keadaan apapun.’ Sebagai contoh,
penghargaan kepada individu adalah suatu prinsip yang mendasari kemerdekaan.
Landasan
Banyaknya Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah yang bekerja dalam konteks yang berbeda-beda, dengan puluhan juta
anggota, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah memiliki warna yang
beraneka ragam. Lebih dari itu, pekerjaannya pada dasarnya terdiri dari
kegiatan sehari-hari yang praktis dan yang seringkali diimprovisasi. Dalam
rangka mengatasi perbedaan ini, meminimalisasi ketidakcocokan dan memupuk
tindakan yang konsisten dan efektif, Gerakan memerlukan standar yang universal
sebagai referensi, seperangkat kebijakan dan pendekatan yang umum; dengan kata
lain, Prinsip-prinsip Dasar.
Batasan
Pekerjaan Gerakan pada awalnya relatif lebih sederhana,
karena tugasnya terbatas pada pemberian bantuan pada tentara yang luka dan
sakit dalam masa perang. Namun dengan berlalunya waktu, tugasnya menjadi lebih
luas dan beraneka-ragam. Untuk tetap dapat mengontrol kegiatannya yang terus
berkembang, dan menghindari perpecahan, Gerakan memformulasikan prinsip mereka
sendiri untuk diketahui oleh semua orang dan untuk lebih dapat
mendefinisikan jenis kegiatan kemanusiaan mereka.
Asal-usul
Sebelum Gerakan mengadopsi tujuh Prinsip Dasar yang ada
saat ini, telah banyak kategori Prinsip yang diajukan. Usulan adanya Prinsip
Dasar bagi Gerakan, semula terdapat pada Deklarasi Oxford (1946), namun teks masih kasar dan
lepas-lepas. Pada tahun 1949, adanya Prinsip Dasar telah disebutkan
pula dalam konvensi I (pasal 44) dan konvensi IV (pasal 63). Selanjutnya
berkembang pada tahun 1955 dimana Jean
Pictet mulai menulis penelitiannya secara sistematik dan membagi Prinsip
menjadi 2 kategori yaitu Prinsip Dasar (fumandental) dan Prinsip Organis
(Organic). Pada konteks Palang Merah, suatu prinsip
menurut Jean Pictet adalah aturan-aturan tindakan yang wajib, berdasar pada
pertimbangan dan pengalaman, yang mengatur kegiatan dari semua komponen Gerakan
pada setiap saat. Sejak tahun 1965, Buku Pictet pun menjadi dasar pertimbangan tertulis dan resmi diumumkan
di Viena, konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20.
namun demikian, baru pada tahu 1979, Pictet menulis uraian tentang Prinsip Dasar
yang ditulisnya. Secara resmi, Konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah ke-25 mengadopsi Tujuh Prinsip Dasar dan memasukannya kedalam
pembukaan statuta baru. Ketujuh Prinsip dasar itu meliputi : Kemanusiaan,
Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Makna dan Kategori
Ketujuh prinsip merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat sebagai suatu
piramida yang akan rusak apabila salah satu bagiannya jatuh atau diambil.
Meskipun setiap bagian saling terikat dan tergantung, masing-masing memiliki
peranan sendiri-sendiri. Prinsip-prinsip ini dapat dibagi dalam tiga kategori,
yaitu:
> Prinsip Substantif/utama, meliputi Kemanusiaan dan
Kesamaan
Prinsip-prinsip ini berlaku sebagai inspirasi organisasi,
merupakan tujuan dari Gerakan, menentukan tindakan-tindakan di masa
perang, pada saat bencana alam atau kegiatan lain yang dilakukan untuk melayani
umat manusia.
> Prinsip Derivatif/ turunan, meliputi
Kenetralan dan Kemandirian
Prinsip yang memungkinkan untuk mengaplikasikan prinsip
substansi / utama, menjamin kepercayaan semua orang dan memungkinkan
Gerakan untuk mencapai tujuannya tanpa masalah.
> Prinsip dan organis, meliputi
Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Prinsip-prinsip ini sebagai standar untuk aplikasi, berhubungan
dengan struktur dan operasi organisasi, merupakan ‘batu fondasi’ dari
Gerakan. Tanpanya Gerakan tidak dapat bertindak atau akan menghilang secara
perlahan.
Implementasi Prinsip Dasar dalam Aktivitas
Kepalangmerahan
a) Kemanusiaan
”Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional didirikan berdasarkan keinginan memberi
pertolongan tanpa membedakan korban yang terluka di dalam pertempuran, mencegah
dan mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang Merah menumbuhkan saling
pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.”
Mewakili asal-usul
Gerakan, prinsip kemanusiaan menyatakan bahwa tidak boleh satupun pelayanan
yang menguntungkan seseorang yang menderita di manapun mereka berada,
ditiadakan. Tujuannya adalah untuk melindungi hidup dan kesehatan serta
menjamin penghargaan terhadap manusia. Di masa damai, perlindungan berarti
mencegah penyakit, bencana atau kecelakaan atau mengurangi efeknya dengan
menyelamatkan hidup (mis. pelatihan
Pertolongan Pertama). Di masa perang, artinya adalah pemberian bantuan
kepada mereka yang dilindungi oleh HPI (agar korban tidak meninggal kelaparan,
tidak diperlakukan secara semena-semena, atau tidak menghilang). Kemanusiaan
meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi
bagi sesama manusia.
b) Kesamaan
”Gerakan ini tidak
membuat perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama atau pandangan
politik. Tujuannya semata-mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan
kebutuhannya dan mendahulukan keadaan yang paling parah”
Non-diskriminasi terhadap kebangsaan, suku, agama, golongan atau pandangan politik adalah
sebuah aturan wajib yang menuntut agar segala perbedaan antara pribadi
dikesampingkan, bahwa kawan maupun lawan dibantu secara merata, dan diberikan
berdasarkan pertimbangan kebutuhan. Prioritas pemberian bantuan harus
berdasarkan tingkat kedaruratannya serta proporsional dengan penderitaan yang
ingin diatasi.
c) Kenetralan
”Agar senantiasa
mendapat kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau
melibatkan diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.”
Kenetralan berarti menahan
diri dari memihak dalam permasalahan politik, agama, ras atau ideologi.
Apabila Palang Merah atau Bulan Sabit Merah memihak, mereka akan kehilangan
kepercayaan dari salah satu kelompok masyarakat dan sulit untuk melanjutkan
ativitas mereka. Setiap anggota Gerakan dituntut untuk dapat menahan diri,
bersikap netral dan tidak mengungkapkan pendapat mereka selama sedang bertugas.
d) Kemandirian
”Gerakan ini
bersifat mandiri. Perhimpunan Nasional di samping membantu Pemerintahnya dalam
bidang kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan negaranya, harus selalu
menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan
ini.”
Secara umum,
kemandirian berarti bahwa institusi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menolak
segala jenis campur tangan yang bersifat politis, ideologis atau ekonomis yang
dapat mengalihkan mereka dari jalur kegiatan yang telah ditetapkan oleh
tuntutan kemanusiaan. Contohnya, tidak boleh menerima sumbangan uang dari
siapapun yang mensyaratkan bahwa peruntukkannya ditujukan bagi sekelompok orang
secara khusus berdasarkan alasan politis, kesukuan atau agama dengan
mengesampingkan kelompok lainnya yang kebutuhannya mungkin lebih mendesak.
Tidak ada suatu institusi Palang Merah pun yang boleh tampak sebagai alat
kebijakan pemerintah. Walaupun Perhimpunan Nasional diakui oleh pemerintahnya
sebagai alat bantu pemerintah, dan harus tunduk pada hukum negaranya, mereka
harus selalu menjaga otonomi mereka agar dapat bertindak sesuai dengan
prinsip Gerakan setiap saat.
e) Kesukarelaan
“Gerakan ini adalah
gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak didasari oleh keinginan untuk
mencari keuntungan apa pun.”
Kesukarelaan adalah
proposal yang sangat tidak mementingkan diri sendiri dari seseorang yang
melaksanakan suatu tugas khusus untuk orang lain dalam semangat persaudaraan
manusia. Apakah dilakukan tanpa bayaran maupun untuk suatu pengakuan atau
kompensasi, faktor utama adalah bahwa pelaksanaannya bukanlah dengan keinginan
untuk memperoleh keuntungan finansial namun dengan komitmen pribadi dan
kesetiaan terhadap tujuan kemanusiaan.
f) Kesatuan
”Di dalam suatu
negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang
terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh
wilayah.”
Prinsip kesatuan secara
khusus berhubungan dengan struktur institusi dari Perhimpunan Nasional. Di
negara manapun, peraturan pemerintah yang mengakui sebuah Perhimpunan Nasional
biasanya menyatakan bahwa Perhimpunan tersebut merupakan satu-satunya
Perhimpunan Nasional yang dapat melaksanakan segala kegiatannya di wilayah
nasional.
Kenyataan bahwa sebuah Perhimpunan merupakan
satu-satunya di negaranya juga merupakan salah satu syarat agar dapat diakui
oleh ICRC.
g) Kesemestaan
”Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah bersifat semesta. Setiap
Perhimpunan Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam menolong sesama
manusia.”
Kesemestaan penderitaan
memerlukan respon yang semesta juga. Prinsip kesemestaan menuntut tanggung
jawab secara kolektif di pihak
Gerakan. Kesamaan dari status dan hak dari Perhimpunan Nasional
direfleksikan dalam kenyataan bahwa dalam konferensi dan dalam badan pemerintah
Gerakan, setiap Perhimpunan Nasional memiliki satu suara, hal mana melarang
pemberian hak suara istimewa maupun kursi tetap kepada Perhimpunan Nasional
tertentu.
Hukum Perikemanusiaan Internasional
A. Sejarah HPI
Salah
apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun
pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandakan kelahiran hukum
perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada
satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak
pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang
mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta bagaimana perang
itu dilaksanakan.
HPI sudah terintis sejak
dulu sebelum Gerakan berdiri. Pada awalnya ada
aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang
sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang
kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak
yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan
yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”).
Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku
pada satu pertempuran atau sengketa tertentu saja. Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat,
moral dan keberadaban.
Dari sejak
permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer, lebih
dari 500 kartel, aturan bertindak (code of conduct), perjanjian dan
tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur tentang pertikaian telah
dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang mulai berlaku pada bulan
April 1863 dan memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk
mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang ada. Namun, tidak seperti
Kovensi Jenewa yang dibentuk setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak
memiliki status perjanjian sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya
diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di
Amerika.
Ada dua pria
memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu Henry Dunant
dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan
gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino),
diterbitkan tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour
tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya
dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap usulan
dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss mengadakan Konferensi Diplomatik tahun
1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk
perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan
pertempuran darat.
Definisi
Hukum Perikemanusiaan
Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan
terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi
terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa
sengketa bersenjata.
Lebih
tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku
di masa sengketa bersenjata adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian
dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah
kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun
non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak
dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat
peperangan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban
maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan hanya
boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil
dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum
perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa
bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama pengertiannya.
Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung
menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter),
sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan
oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah
Hukum Perikemanusiaan Internasional.
Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum
Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa
bersenjata atau hukum perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
> Hukum Jenewa, atau hukum
humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer
yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara
aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
> Hukum Den Haag, atau hukum perang,
adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam
melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.
Kedua cabang HPI
ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum Den
Haag adalah melindungi korban sengketa, sementara efek dari beberapa aturan
hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di
masa perperangan. Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang
mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan di atas kini tinggal memiliki
nilai sejarah dan pendidikan.
Prinsip
Hukum perikemanusiaan
didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta
antara objek sipil dan objek militer. Prinsip necessity atau
kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga keseimbangan antara
kepentingan kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di
pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary
suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat
untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para pihak tidak diperbolehkan
mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta tidak seimbang dengan tujuan yang hendak
dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip
proporsionalitas, mencoba untuk
menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang
berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer, dan yang lainnya berdasarkan
tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.
Aturan Dasar
ICRC telah
memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian
internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah
perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan
perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1. Orang yang
tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas
keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi
dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.
2. Dilarang untuk
membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka yang
terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil
medis, sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi.
Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di
atas, dan harus dihormati.
4. Kombatan dan
penduduk sipil yang berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak
untuk memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi,
keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari
segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi
dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
5. Setiap orang
berhak atas jaminan peradilan dan tak
seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan yang tidak
dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun
mental atau hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun
perlakuan lainnya.
6. Tidak satu pun
pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai
hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk
menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan
dan kerugian yang tak perlu.
7. Pihak bertikai harus selalu membedakan
antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka melindungi penduduk sipil
dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun
perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan
hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.
Konvensi Jenewa
Konvensi
Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter
utamanya adalah:
> aturan
tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban sengketa;
> sifatnya multilateral, terbuka untuk semua
negara;
> adanya
kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer
yang terluka dan sakit;
> penghormatan
dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya
menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas dasar putih).
Diawali dengan Konvensi
Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang dalam
berbagai tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi tersebut
dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang terus
berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta
jenis-jenis sengketa.
Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan
penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam
skala yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman
dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II
(1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah
yang seimbang, berbeda dengan saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya
adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang
tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil,
dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang berlaku dan mengadopsi perangkat
hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4
tentang perlindungan
terhadap penduduk sipil. Belakangan di tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan
tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya
diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.
Keempat Konvensi Jenewa
menegaskan penghormatan yang harus diberikan
kepada setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut
adalah:
I Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam
angkatan bersenjata di medan
pertempuran darat
II Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata
di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan
tawanan perang
IV Perlindungan
penduduk sipil di waktu perang
Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan
nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949. Dua protokol
tambahan diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa
internasional (protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi
Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600 pasal dan merupakan
perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara
yang dapat menjadi peserta perjanjian internasional, begitu pula untuk menjadi
peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir semua negara di dunia – 190 tepatnya
– menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini merupakan salah
satu yang diterima di sejumlah besar negara membuktikan kesemestaannya.
Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara menjadi peserta Protokol I
dan 150 peserta Protokol II.
HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan
internasional dan hukum hak asasi manusia internasional
(selanjutnya disebut hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk
melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda.
HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM
atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam
masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi
korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum
HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI
adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke tangan pihak lawan
dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM pada intinya mencegah
perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara atas individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk
mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan
penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu memberi
penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah
yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya,
pendekatan ICRC yang perannya menjamin penghormatan terhadap HPI
memberikan prioritas pada persuasi.
Mekanisme untuk memonitor
hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga yang berwenang
dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara telah menghormati hukum.
Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian pendahuluan oleh seseorang,
dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh penguasa negara.
Penguasa ini selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang perlu untuk
memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan yang diminta
oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud untuk
meluruskan segala kerusakan yang terjadi.
Dasar Hukum Internasional meliputi :
A. Konvensi Jenewa (1949)
I. Melindungi anggota angkatan bersenjata
yang luka dan yang sakit dalam pertempuran di darat
II. Melindungi anggota angkatan bersenjata yang
luka, sakit dan mengalami kapal karam dalam pertempuran di laut
III. Melindungi para tawanan perang
IV. Melindungi penduduk sipil
B. Protokol Tambahan (1977)
I.
Protokol
I :
Memperkuat perlindungan kepada para korban konflik
bersenjata internasional
II.
Protokol
II:
Memperkuat
perlindungan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional
III.
Protokol
III (2005)
Pengesahan
dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan
Dasar Hukum Nasional meliputi :
I.
UU No 59 tahun 1958 – keikutsertaan negara RI
dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949
II.
Keppres RI no 25 tahun 1950 – pengesahan dan
pengakuan Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia
III.
Keppres RI no 246 tahun 1963 – tugas pokok
dan kegiatan PMI
IV.
AD/ART Palang Merah Indonesia
V.
Garis-Garis
Kebijakan Palang Merah Indonesia
VI.
Protap
Tanggap Darurat Bencana PMI
1.
Tujuh Pilar
Adalah
“Pedoman/ acuan yang efektif untuk menciptakan kesadaran personal pemberi
bantuan pada semua tingkat tentang berbagai hal penting yang harus dipertimbangkan
pada saat akan memberikan perlindungan maupun bantuan bagi para korban
konflik”. Ketujuh pilar itu meliputi :
a.
Penerimaan terhadap Organisasi
Organisasi
bantuan kita harus ‘diterima’ oleh lingkungan dimana operasi kemanusiaan
dilakukan.
b.
Penerimaan terhadap Individu dan Tingkah Laku
Pribadi
Tingkah
laku pribadi dapat berpengaruh kepada penerimaan terhadap individu dan
berpengaruh pula pada penerimaan terhadap organisasi.
c.
Identifikasi
Tanda
pengenal bahwa kita menjadi anggota organisasi harus selalu melekat.
d.
Komunikasi Internal
Informasi
internal hendaknya mengalir cepat, tepat dan akurat. Cepatnya informasi dapat mengantisipasi kejadian yang tidak
diinginkan. Untuk itu penting adanya membuat perencanaan.
e.
Komunikasi Eksternal
Komunikasi atau informasi dengan pihak luar Gerakan secara terbuka tanpa
batas dapat membahayakan keamanan
kita, sebab dapat disalahgunakan untuk
propaganda atau dapat menimbulkan citra bahwa Gerakan adalah organisasi yang memihak. Untuk itu, individu pemberi bantuan tidak boleh
memberitahukan atau menyampaikan apapun selain hanya ‘apa yang dilakukan’ dan
bukan ‘apa yang dirasakan, dilihat, didengar’ dan sebagainya.
f.
Peraturan Keamanan
Peraturan harus ditandatangani oleh setiap anggota, Mempunyai suatu sistim untuk
memastikan terlaksananya peraturan tersebut dan Peraturan itu haruslah selalu diperbaharui
sesuai dengan perkembangan situasi.
g.
Tindakan Perlindungan
Memilih tindakan perlindungan
aktif atau pasif atau kombinasi keduanya dan adanya jaminan asuransi.
[1] Pada
saat itu, beberapa negara dimulai dari kerajaan Ottonam (Turki), sudah
menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai Lambang perhimpunan nasionalnya.
Nb : diambil dari materi diklat PMR Wira MAN 2 Tulungagung
0 komentar:
Posting Komentar